Budaya perusahaan adalah aturan main yang ada dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari SDM–nya dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berprilaku di dalam organisasi tersebut.
Budaya perusahaan sebagai rantai yang mengikat ujung-ujung tombak sehingga hal tersebut mengarahkan segala kekuatan menjadi satu tujuan terasa benar-benar kekuatannya.
Perkembangan Budaya Perusahaan:
1. Budaya perusahaan adalah hal-hal yang dikerjakan dalam satu perusahaan.
2. Budaya perusahaan adalah asumsi-asumsi dasar.
3. Rekayasa budaya perusahaan sebagai alat untuk meraih kemajuan, Budaya perusahaan sebagai andalan daya saing.
4. Budaya perusahaan bagian dari strategi perusahaan dalam meraih kemajuan.
Budaya pada dasarnya tidak hanya menjadi monopoli para ahli purbakala, sastrawan, atau pekerja seni. Budaya juga tidak identik dengan sesuatu yang kuno, kolot, atau primitif. Budaya yang baik seharusnya juga menjadi bagian dari perangkat nilai yang dianut oleh para pekerja dari tukang sapu sampai direktur utama, baik disektor swasta maupun negara [BUMN]. Inilah yang belakangan sering dilupakan, termasuk ketika kita berbicara tentang kerangka good corporate governance [GCG] atau tata kelola perusahaan yang baik. Kerangka GCG hanya difahami sebagai seperangkat aturan yang harus dipatuhi setiap orang dan tidak jarang menempatkan karyawan sebagai objek semata.
Ketika itu GCG diyakini sebagai salah satu resep mujarab untuk menggenjot produktifitas sektor usaha [korporat] karena dianggap mampu mencegah terjadinya inefisiensi pada perusahaan BUMN maupun Swasta. Begitu pentingnya GCG ini sampai-sampai Bank Dunia menempatkannya menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kerangka kebijakan pemulihan ekonomi khususnya bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi agar mereka dapat segera bangkit dari keterpurukan. Pelembagaan GCG ini-pun dimasukkan dalam satu paket skema pemulihan ekonomi yang ditawarkan IMF melalui penandatanganan Letter of Intent bersamaan dengan pelembagaan Good Governance [GG] disektor pemerintahan. Sejak saat itu pemerintah mulai melembagakan GCG antara lain melalui Keputusan Meneg BUMN No.117/M-MBU/2002 tentang Pengembangan Praktik corporate governance di BUMN.
Meskipun demikian ternyata resep pemulihan yang diberikan IMF untuk Indonesia hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Akibatnya suara-suara kritis terhadap konsep pemulihan ekonomi ala IMF ini (termasuk didalamnya GCG) terdengar semakin lantang dan bermuara pada keinginan agar Indonesia bisa segera keluar dari program pemulihan IMF dipenghujung tahun 2003 (Kompas: 29/05/03). Setelah beberapa tahun menjadi pasien IMF, Indonesia memang masih belum benar-benar dapat bangkit dari keterpurukan. Ini dapat dilihat misalnya sampai tahun 2006 sedikitnya 20 BUMN masih merugi. Enam diantaranya perusahaan besar seperti PLN, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, PTPN I, II dan XIV (BUMN Online: 10/11/2007). Bahkan bulan September 2007 PT Dirgantara Indonesia dinyatakan bangkrut (Batam Pos, 5/09/2007). Pada bagian lainnya, korupsi masih merajalela (Kompas 28/03/2003). Daya saing juga masih rendah karena Indonesia menemati urutan ke 92 dari 108 negara (Pikiran Rakyat, 6/08/2006). Hasil kajian sejumlah lembaga survei dalam dan luar negeri juga menunjukkan bahwa penerapan GCG di Indonesia sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari buruknya indeks nilai GCG yang diperoleh. Survei yang dilakukan Credit Lyonnais bahkan mencatat penurunan index nilai GCG Indonesia dari 3,10 pada tahun 2000 menjadi 2,90 tahun 2001 (Bali Pos, 23/01/2003).
Salah satu pendapat yang mengemuka adalah GCG tidak sepenuhnya berhasil diterapkan di Indonesia bukan karena konsepnya yang salah, tetapi karena pelaku usaha tidak menempatkan budaya perusahaan sebagai dasar untuk membangun GCG. Ketika berbicara tentang GCG, yang ada dibenak mereka adalah konsep-konsep manajemen yang mekanik dan hanya bisa diukur dengan parameter-parameter objektif rasional. Padahal ruang lingkup GCG lebih dalam dari sekadar wilayah manajemen. Bila manajemen mengatur hal-hal yang sangat teknis tentang bagaimana perusahaan menggerakkan roda organisasinya untuk mencapai laba, maka GCG menyentuh wilayah yang lebih dalam dari sekadar menggerakkan roda organisasi. Oleh karena itu sebagai kerangka konseptual GCG memerlukan perangkat nilai untuk pondasi agar ia dapat dibangun secara kokoh. Perangkat nilai tersebut adalah good corporate culture [GCC] atau bisa disebut sebagai “budaya perusahaan yang baik”.
Apa itu good corporate culture dan bagaimana implementasinya pada kehidupan sehari-hari dalam penyelenggaraan perusahaan? Sebelum mengulasnya, baik kita pahami apa itu budaya perusahaan. Mengutip pendapat mantan Dirut BRI DR. Djokosantoso Moeljono budaya perusahaan adalah “peramuan” berpola top-middle-bottom, kemudian disemaikan kesetiap sel organisasi dan menjadi nilai-nilai kehidupan bersama yang dapat muncul dalam bentuk perilaku formal maupun informal (Moeljono:2006:58). Dengan demikian budaya perusahaan adalah landasan filosofis yang pada tingkatan paling dalam diyakini sebagai “agama” oleh orang-orang dalam sebuah organisasi perusahaan. Fungsi budaya perusahaan adalah sebagai sistem nilai yang akan mengikat serta mewarnai sikap dan tingkah laku para pekerja, dari mulai tukang sapu sampai dengan direktur utama. Oleh karena itu, budaya yang dapat dijadikan sebagai pondasi bagi bangunan GCG tentu saja adalah budaya perusahaan yang baik. Karena budaya perusahaan yang buruk tidak akan bisa menjadi pondasi GCG. Budaya perusahaan yang baik adalah yang tidak mengabaikan nilai-nilai lokalitas.
Sumber : ombudsman-asahan & shvoong